Senin, 19 Januari 2009

BATASAN MENGENAI BERMAIN

Oleh Sugi Paryanto

(Peserta Pendidikan Sertifikasi Guru Matematika UNY 2008)

Apa yang dimaksud dengan bermain? James Sully di dalam bukunya Essay on Laughter (dalam millar, 1972) mengemukakan bahwa tertawa adalah tanda dari kegiatan bermain dan tertawa ada di dalam aktivitas social yang dilakukan bersama sekelompok teman. Menurut james Sully, bermain mempunyai manfaat tertentu, yang penting dan perlu ada dalam kegiatan bermain adalah rasa senang yang ditandai oleh tertawa. Karena itu, suasana hati dari orang yang sedang melakukan kegiatan, memegang peran untuk menentukan apakah orang tersebut sedang bermain atau tidak. Jadi, walaupun yang dilakukan sama, tetapi suasana hati dari orang yang terlibat dalam kegiatan itu berbeda, maka kegiatan tersebut dapat digolongkan bermain dan bukan bermain. Contohnya, seoran anak bermain lompat tali bersama teman-temannya, dia melakukan kegiatan tersebut tanpa tujuan tanpa memperoleh upah tetapi semata-mata demi kesenangan, maka dapat dikategorikan sedang bermain tali. Beda halnya bila anak itu melakukan kegiatan lompat tali sebagai prasyarat untuk meraih prestasi dalam olah raga tertentu, maka digolongkan dalam keadaan bekerja. Bekerja mempunyai arti berlawanan dengan bermain, karena dalam kegiatan bekerja lebih diutamakan pada hasil akhir.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith et al; Garvey; Rubin, Felin & Vandenberg (dalam Johnson et al, 1999) diungkapkan adanya beberapa ciri-ciri kegiatan bermain, yaitu:

1. Dilakukan berdasarkan motivasi instrinsik.

Maksudnya muncul atas keinginan pribadi serta untuk kepentingan sendiri.

2. Perasaan dari orang yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi yang positif.

Kalaupun emosi positif tidak tampil, setidaknya kegiatan bermain mempunyai nilai (value) bagi anak. Kadang-kadang kegiatan bermain dibarengi oleh perasaan takut, misalnya saat harus meluncur dari tempat yang tinggi, namun anak mengulag-ulang kegiatan itu karena ada rasa nikmat yang diperolehnya.

3. Fleksibelitas.

Yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain.

4. Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhir.

Saat bermain, perhatian anak-anak lebih terpusat pada kegiatan yang berlangsung dibandingkan tujuan yang ingin dicapai. Tidak adanya tekanan untuk mencapai prestasi membebaskan anak untuk mencoba berbagai variasi kegiatan. Karena itu bermain cenderung lebih fleksibel, karena tidak semata-mata ditentukan oleh sasaran yang ingin di capai.

5. Bebas memilih.

Ciri ini merupakan elemen yang sangat penting bagi konsep bermain pada anak-anak kecil. Sebagai contoh pada anak seusia TK, menyusun balok disebut bermain bila dilakukan atas kehendak sendiri anak tersebut. Tetapi dikategorikan bekerja, ditugaskan oleh guru. Kebebasan memilih menjadi tidak begitu penting bila anak beranjak besar.

6. Mempunyai kualitas pura-pura.

Kegiatan bermain mempunyai kerangka tetentu yang memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari. Kerangka ini berlaku terhadap semua bentuk kegiatan bermain seperti bermain peran, menyusun balok-balok, menyusun kepingan gambar dan lain-lain. Realitas internal lebih di utamakan dari pada realitas eksternal, karena anak memberi ’makna’ baru terhadap objek yang dimainkan dan mengabaikan keadaan objek yang sesungguhnya. Keadaan ini bisa kita simak pada saat anak bermain, tindakan-tindakan anak akan berbeda dengan perilakunya saat sedang tidak bermain. Misalnya anak yang pura-pura minum dari ’cangkir’ yang sebenarnya berujud balok, atau menganggap kepingan gambar sebagai kue keju. Kualitas ’pura-pura’ memungkinkan anak bereksperimen dengan kemungkinan-kemungkinan baru.

Ciri ke 6 menjadi indikasi paling kuat bahwa seorang anak usia pra sekolah sedang melakukan kegiatan bermain. Karena itu hendaknya lebih berhati-hati dalam memberikan kegiatan pada anak, karena bila kegiatannya lebih condong ke arah bekerja, berarti hak anak untuk bermain sudah dirampas. Artinya anak tersebut tidak lagi menikmati kegiatannya sebagai bermain.

Ada dua ciri lagi dari kegiatan bermain, yaitu bebas dari aturan-aturan yang ditetapkan dari luar dan keterlibatan secara aktif dari si pemain (Rubin, Fein & Vandenberg, 1983). Namun kedua ciri ini kurang tepat bila diterapkan kepada dua bentuk bermain lainnya, yaitu (1) permainan dengan aturan (games with rules) dan (2) melamun. Padahal, permainan yang menggunakan aturan mempunyai makna penting bagi anak-anak usia lebih besar (diatas 7 tahun), sedangkan melamun sering muncul saat anak menjelang remaja. Sebenarnya lambat laun kegiatan melamun menggantikan kegiatan bermain peran, sedangkan remaja serta orang dewasa akan ’bermain’ dengan ide-ide mereka. Jadi makin jelas bagaimana sumbangan kegiatan bermain khayal/bermain peran untuk mengembangkan idea seseorang di kemudian hari.

Sumber:

Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI BERMAIN

Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli ilmu jiwa, karena terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangnya perhatian mereka pada perkembangan anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar tentang bermain adalah Plato, seorang filsuf Yunani. Plato dianggap sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mepelajari aritmatika dengan cara membagikan apel kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniature balok-balok kepada anak usia tiga tahun pada akhirnya akan mengantar anak tersebut menjadi seorang ahli bangunan.

Filsuf lainnya, Aristoteles berpendapat bahwa anak-anak perlu didorong untuk bermain dengan apa yang akan mereka tekuni di masa dewasa nanti. Dari tokoh-tokoh yang mengadakan reformasi di bidang pendidikan seperti Comenius (abad 17), Rousseau, Pestalozzi dan Frõbel (abad 18 serta awal abad 19) akhirnya lambat laun para pendidik dapat menerima pendapat bahwa pendidikan untuk anak perlu disesuaikan dengan minat serta tahap perkembangan anak. Frõbel lebih menekankan pentingnya bermain dalam belajar karena berdasarkan pengalamannya sebagai guru, dia menyadari bahwa kegiatan bermain maupun mainan yang dinikmati anak dapat digunakan untuk menarik perhatian serta mengembangkan pengetahuan mereka. Jadi Plato, Aristoteles, Frõbel menganggap bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis. Artinya, bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan tertentu pada anak. Sayangnya pada tersebut, teori perkembangan psikologi anak belum mempunyai sistematika yang teratur. Akibatnya, apa yang dikemukakan oleh Frõbel bahwa bermain dapat meningkatkan minat, kapasitas serta pengetahuan anak sulit dibuktikan.

Pertengahan sampai akhir abad 19 teori evolusi sedang berkembang sehingga pembahasan teori bermain banyak dipengaruhi oleh paham tersebut. Bermain memiliki fungsi untuk memulihkan tenaga sesorang setelah bekerja dan merasa jenuh. Pendapat ini dipertanyakan karena pada anak kecil yang tidak bekerja tetap melakukan kegiatan bermain. Jadi penjelasan mengenai kenapa terjadi kegiatan bermain pada makhluk hidup belum dapat dijawab secara memuaskan.

Sebelum terjadi Perang Dunia ke-1, ada beberapa tokoh yang dapat dikategorikan dalam teori klasik. Mereka berusaha menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain serta apa tujuan dari bermain. Ellis (dalam Johnson et al, 1999) menyebutnya sebagai armchair theories karena teori itu dibangun berdasarkan refleksi filosofis dan bukan melalui riset eksperimental. Teori klasik mengenai bermain dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu (1) surplus energi dan teori rekreasi, serta (2) teori rekapitulasi dan praktis. Friedrich Schiller seorang penyair berkebangsaan Jerman (abad 18) dan Herbert Spencer seorang filsuf Inggris (abad 19) mengajukan teori surplus energi untuk menjelaskan mengapa ada perilaku bermain. Herbert Spencer di dalam bukunya Principles of Psychology, pertengahan abad 19 (dalam Millar, 1972) mengemukakan bahwa kegiatan bermain seperti berlari, melompat, bergulingan yang menjadi ciri khas kegiatan anak kecil maupun anak binatang perlu dijelaskan secara berbeda.

Spencer berpendapat bermain terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya berlaku pada manusia serta binatang dengan tingkat evolusi tinggi. Pada binatang yang mempunyai tingkat evolusi lebih rendah, misalnya serangga, katak energi tubuh lebih dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup. Ketrampilan kelompok binatang dengan tingkat evolusi rendah sangat terbatas sehingga harus banyak menguras tenaga untuk mempertahankan hidup. Energi lebih ini dapat diumpamakan sebagai sistem kerja air atau gas yang akan menekan ke semua arah untuk mencari penyaluran. Tekanan akan lebih kuat dan butuh penyaluran yang lebih banyak bila volume air atau gas sudah melebihi daya tampungnya.

Pada masa tersebut teori surplus energi mempunyai pengaruh besar terhadap psikologi, namun teorinya dirasakan kurang tepat dan mendapat tantangan. Sebagai contoh, anak akan cepat-cepat akan menyelesaikan tugas kalau dijanjikan boleh bermain setelah tugasnya selesai. Bayi yang sudah mengantuk seringkali tetap ingin bermain dengan mainannya. Dari kedua contoh tersebut, jelas tergambar bahwa bermain merupakan suatu insentif, dan bukan muncul akibat kelebihan energi.

Berlawanan dengan teori surplus energi, maka teori rekreasi mengajukan dalil bahwa tujuan bermain adalah untuk memulihkan energi yang sudah terkuras saat bekerja. Menurut penggagasnya, seorang penyair Jerman bernama Moritz Lazarus, kegiatan bekerja menyebabkan berkurangnya tenaga. Tenaga ini akan dapat dipulihkan kembali dengan cara tidur atau melibatkan dalam kegiatan yang sangat berbeda dengan bekerja. Bermain adalah lawan dari bekerja dan merupakan cara yang ideal untuk memulihkan tenaga. Tentu saja teori yang dikemukakan oleh Lazarus terkesan kurang ilmiah walaupun teori ini bisa menjelaskan aktifitas rekreatif yang dilakukan orang dewasa, seperti bermain catur sebagai selingan setelah bekerja keras.

Abad 19, teori evolusi mempunyai pengaruh besar terhadap studi tentang anak. Apa yang dikemukakan Herbert Spencer dirasakan terlalu spekulatif tetapi pendapat Charles Darwin di dalam bukunya Origin of Species (dalam Millar, 1972) tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari makhluk yang lebih rendah akhirnya merangsang dan mendorong minat para ilmuwan untuk mempelajari perkembangan manusia sejak bayi sampai menjadi dewasa. Kalau sebelumnya pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari perilaku manusia bersifat spekulatif, maka sejak saat itu dilakukan lebih ilmiah, melalui metode observasi. Para ayah, termasuk darwin membuat pencatatan atas perkembangan anak-anak mereka.

G. Stanley Hall, seorang profesor Psikologi dan paedagogi berminat terhadap teori evolusi dan bidang pendidikan, dia juga mempelajari perkembangan anak. G. Stanley Hall meninjau bermain dari teori rekapitulasi, dan gagasannya adalah sebagai berikut: ”anak merupakan mata rantai evolusi dari binatang sampai menjadi manusia”. Artinya anak menjalankan semua tahapan evolusi, mulai dari protozoa (hewan bersel satu) sampai menjadi janin. Sejak konsepsi atau bertemunya sel telur dengan sperma sampai anak lahir, melampaui beberapa tahap perkembangan yang serupa dengan urutan perkembangan dari species ikan sampai menjadi species manusia. Dengan demikian, perkembangan sesorang akan mengulangi perkembangan ras tertentu sehingga pengalaman-pengalaman ’nenek moyangnya’ akan tertampil didalam kegiatan bermain pada anak (dalam Millar, 1972 dan johnson et al, 1999). Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan bermain yang mengikuti urutan sama seperti evolusi makhluk hidup. Sebagai contoh, kesenangan anak untuk bermain air dapat dikaitkan dengan kegiatan ’nenek moyangnya’, species ikan yang mendapat kesenangan di dalam air. Anak yang berkeinginan untuk memanjat pohon dan berayun dari satu dahan ke dahan lain sebagai cerminan kebiasaan monyet dan perilaku bermain jenis ini muncul sebelum anak terlibat dalam kegiatan bermain kelompok. Anak usia 8 – 12 tahun, anak senang berkemah, berperahu, memancing, berburu bersama sekelompok teman dan ini merupakan cermin kebiasaan masyarakat primitif. Teori yang diajukan G. Stanley Hall tentu saja mempunyai kelemahan, tetapi setidaknya dapat di anggap mempunyai peran besar karena berhasil mendorong minat ilmuwan lain untuk mempelajari perilaku anak dalam berbagai tahap usia.

Teori praktis yang diajukan oleh Karl Groos, seorang filsuf yang meyakini bahwa bermain berfungsi untuk memperkuat instink yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup di masa mendatang. Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai ketrampilan yang diperoleh melalui bermain. Bayi yang baru lahir dan juga binatang mewarisi sejumlah instink yang tidak sempurna dan instink ini penting guna mempertahankan hidup. Bermain bermanfaat bagi yang masih muda dalam melatih dan menyempurnakan instinknya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan mengelaborasi ketrampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.

Contoh bahwa bermain berfungsi sebagai sarana melatih ketrampilan untuk bertahan hidup dapat kita amati pada anak-anak kucing yang lari mengejar dan menangkap bola sebagai latihan menangkap mangsanya. Bayi menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki tiada lain sebagai latihan untuk mengkontrol tubuh. Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah yang dibutuhkan untuk bicara.

Bagaimana halnya dengan instink atau naluri yang sudah dimiliki binatang untuk mempertahankan hidupnya? Gross mengatakan bahwa pada binatang yang sudah dilengkap oleh instink, tidak perlu bermain karena mereka sudah dapat mempertahankan diri secara instinktif. Beda halnya dengan binatang yang mempunyai tingkatan evolusi lebih tinggi dan manusia yang memerlukan perlindungan serta perawatan lebih lama agar dapat mempertahankan hidupnya. Kelompok ini perlu diberi latihan-latihan melalui bermain dan meniru (imitasi). Pertanyaan lain adalah ”mengapa manusia tetap bermain sampai usia dewasa bahkan sampai tua?”. Karl Gross memberi sanggahan dengan mengatakan bahwa bermain adalah sesuatu yang menyenangkan di masa muda, oleh karena itu tetap dilakukan dimasa dewasa.

Teori yang dikemukakan Gross mengandung kelemahan, tetapi sekaligus memberi sumbangan karena kegiatan bermain yang dulunya dianggap tidak berguna, pada kenyataannya mempunyai manfaat secara biologis, paling tidak untuk mempertahankan hidup. Selain itu pendapat bahwa bermain merupakan sarana melatih ketrampilan tertentu masih bisa diterima.

Tabel: Teori-teori Klasik

No

Teori

Penggagas

Tujuan Bermain

1

Surplus Energi

Schiller/Spencer

Mengeluarkan energi berlebihan

2

Rekreasi

Lazarus

Memulihkan tenaga

3

Rekapitulasi

Hall

Memunculkan instink nenek moyang

4

Praktis

Groos

Menyempurnakan instink

Sumber:

Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Rabu, 14 Januari 2009

PERSYARATAN CALON KEPALA DESA DAN PERSYARATAN PEMILIHAN

1.

Kepala Desa dipilih langsung oleh Penduduk Desa Bokoharjo dari Calon yang memenuhi syarat.

2

Persyaratan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a.

Warga Negara Republik Indonesia

b.

Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa

c.

Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Kepada Negara Republik Indonesia serta Pemerintah.

d.

Berpendidikan paling rendah tamatan Sekolah Lanjutan Pertama dan atau sederajat.

e.

Berumur sekurang-kurangya 25 (dua puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun terhitung pada tanggal 22 Februari 2009.

f.

Sehat jasmani, rohani, bebas narkoba, obat-obatan terlarang dan zat aditif lainnya yang dibuktikan dengan surat keterangan Dokter Pemerintah.

g.

Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa.

h.

Terdaftar sebagai penduduk Desa Bokoharjo sekurang-kurangya 2 (dua ) tahun terakhir berturut-turut terhitung tanggal 22 Februari 2009, dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang masih berlaku.

i.

Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun.

j.

Tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

k.

Belum pernah menjabat Kepala Desa paling lama 10 (sepuluh) tahun atau 2 kali masa jabatan.

l.

Mengenal wilayah Desa Bokoharjo dan dikenal oleh masyarakat Desa Bokoharjo.

m.

Bagi Pegawai Negeri Sipil harus mendapatkan ijin dari Instansi tempat yang bersangkutan bekerja.

n.

Bagi anggota TNI/POLRI harus melampirkan surat ijin mencalonkan diri menjadi Kepala Desa dari Komandan/Kepala sesuai aturan Perundangan-undangan yang berlaku.

o.

Bagi Pamong Desa harus melampirkan surat ijin dari Kepala Desa.

p.

Bagi Kepala Desa harus melampirkan surat ijin dari Bupati.

q.

Bagi Pamong Desa yang telah ditetapkan sebagai bakal calon wajib mengajukan permohonan cuti selama jangka waktu sampai dengan ditetapkannya calon Kepala Desa terpilih kepada Kepala Desa.

r.

Bagi Kepala Desa yang telah ditetapkan sebagai bakal calon wajib mengajukan permohonan cuti selama jangka waktu sampai dengan ditetapkan Calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati.